Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah masyarakat miskin yang masih banyak. Dengan demikian pemerintah khususnya pemerintah daerah berkewajiban untuk memenuhi kesejahteraan warganya. Beberapa kebijakan pemerintah yang bertujuan memenuhi kesejahteraan warga miskin adalah program Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin). Beras ini ditujukan kepada masyarakat yang dinilai membutuhkan dengan harga sekitar 2000-2500 rupiah/kilogram. Akan tetapi, rata-rata beras bersubsidi yang diterima oleh masyarakat Indonesia baru mencapai 5,75 kilogram per bulan, dari jatah 15 kilogram per bulan. Oleh sebab itu pemerintah menawarkan sistem baru pengganti raskin yaitu dengan e-money. Dengan adanya e-money berarti pasokan beras secara langsung sejumlah 15 kg setiap bulan akan diganti dengan sejumlah uang yang akan dialokasikan untuk memberi beras oleh setiap Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang menerima.
Muncul beberapa pendapat mengenai rencana kebijakan pemerintah tersebut. Yang pertama, jika benar kebijakan tersebut akan dilaksanakan, diyakini akan menimbulkan pengaruh pada para petani, sebab tidak adanya jaminan beras yang dipanen petani akan dibeli oleh pemerintah. Sehingga tengkulak dapat bermain dengan lebih leluasa. Hal lainnya yaitu pasar beras Indonesia akan kekurangan pasokan dengan penambahan konsumen beras standar yang menimbulkan peluang terjadinya impor beras yang lebih besar. Yang lama kelamaan akan menggeser kedudukan kualitas beras dalam negeri yang biasa dikonsumsi masyarakat dan menimbulkan keharusan untuk melakukan impor yang lebih tinggi. Kedua, mengenai keputusan menggunakan e-money, bantuan tersebut akan diberikan dalam bentuk uang yang didistribusikan secara elektronik atau menggunakan rekening setiap RTS. Kebijakan ini harus memperhatikan keberadaan fasilitas pendukung di setiap wilayah, terlebih lagi di daerah pinggiran dan pedalaman. Selain itu wawasan tentang e-money yang masih kurang dimasyarakat dapat menambah faktor ketidak efektifan penggantian ini.
Lalu lahirlah berbagai tanda tanya tentang tidak meratanya pertumbuhan ekonomi setiap daerah, yang ternyata menyebabkan harga beras tiap daerah juga berbeda. Apakah nominal yang diberikan akan sama? Jika tidak, apakah tidak menimbulkan kesenjangan? Apakah hal ini tidak berpotensi menimbulkan masalah?
Namun, dengan tetap dijalankannya program raskin menyebabkan beras dengan kualitas rendah masih disalurkan kepada masyarakat. Sehingga dengan penggantian raskin menjadi e-money, beras dengan kualitas rendah tidak tersalurkan dan menumpuk. Hal ini seharusnya membuat sadar pemerintah bahwa kualitas produksi beras di Indonesia belum maksimal. Sehingga pemerintah wajib untuk meningkatkan kualitas produksi beras hingga beras dengan kualitas rendah tersebut hilang, dengan tidak mengesampingkan kesejahteraan petani. Jika kebijakan raskin tetap dijalankan, seolah-olah pemerintah punya alasan untuk melanjutkan produksi beras kualitas rendah karena memiliki target konsumen. Seakan-akan menyalurkan beras kualitas rendah merupakan hal yang wajar. Padahal dari sisi etika dapat dilihat secara nyata bahwa hal ini kuranglah tepat, mengingat penerima raskin adalah masyarakat ekonomi rendah. Selain itu penggantian raskin menjadi e-money memberikan solusi atas pendistribusian raskin yang selama ini menjadi masalah. Pertama, misalkan sasaran RTS adalah petani padi, sudah tentu mereka lebih memilih mengonsumsi hasil panenan sendiri yang kualitasnya jauh lebih baik dibanding raskin. Pada akhirnya raskin akan dijual kembali dan tidak tersalurkan kepada yang membutuhkan. Kedua, sistem pembagian raskin di beberapa daerah masih kurang tepat. Misalkan, jumlah raskin yang dibagikan pada keluarga di wilayah tersebut mengesampingkan kemampuan ekonomi mereka. Sehingga RTS tidak benar-benar menerima 15 kilogram sebulan. Dengan sistem e-money, keuntungan lain yang didapat adalah kesempatan untuk meningkatkan konsumsi bahan pokok selain beras di Indonesia. Sepeti diketahui bahwa umbi-umbian, jagung dan sagu merupakan bahan makanan pokok dibeberapa wilayah di Indonesia. Dengan digantinya raskin menjadi e-money, harapannya konsumsi bahan pokok tersebut dapat ditingkatkan dibandingkan dengan pemberian raskin. Dengan demikian pemerintah juga tidak terkesan menggeneralisir kebutuhan masyarakat. Mungkin dengan digantinya raskin, masyarakat dapat menggunakan uang dalam bentuk e-money tersebut untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Biro HMPPI KMTPHP UGM Yogyakarta mengambil sikap mendukung rencana kebijakan pemerintah mengganti raskin dengan e-money. Akan tetapi, dengan catatan pemerintah harus lebih siap bekerja keras untuk memfasilitasi program e-money terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang terdapat mesin elektronik untuk transaksi e-money, serta usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas beras dalam negeri.
Go Pangan! Go! Go!
0 Comments